Jadikan Ilmu Sebagai Penopang Keluarga

Kami menikah 19 Desember 2015 silam saat saya berusia 22 tahun dan istri 23 tahun. Awal pertemuan kami dimulai dari sebuah kegiatan kompetisi keilmuan, yaitu kompetisi esai nasional. Dia panitia dan saya finalis. Satu hal yang menjadi prinsip yang mengakar dari keluarga saya bahwa ilmu adalah harta yang tak ternilai. Kompetisi esai itu saya ikuti dengan keyakinan bahwa saya dapat berbagi dan mendapatkan harta berharga berupa ilmu, ternyata saya diberi bonus pertemuan dengan istri saya kini.

 

Ilmu merupakan suatu cara atau dasar kemampuan dalam bertindak. Tanpa ilmu, perasaan akan berjalan membabi buta. Hal itulah yang menjadi prinsip saya kini dalam hidup berumah tangga, sebuah keluarga yang berilmu. Variasi cabang ilmu dasar yang dapat diaplikasikan dalam menjalani rumah tangga, ialah agama, keuangan, dan lain sebagainya.

 

Dalam menjalani hidup berkeluarga tentu perlu strategi dan rencana berjangka. Rencana yang ingin kami jalankan selama 5 tahun ke depan cukup strategis untuk diaplikasikan oleh pasangan muda maupun pasangan lainnya. Pada tahun pertama, kami bagi fokus menjadi saya pada pendidikan dan istri pada pekerjaan. Menyelesaikan pendidikan S1/S2 penting, setidaknya di era Masyarakat Ekonomi ASEAN kini strata menjadi hal yang krusial. Sedangkan istri, saya fokuskan pada pekerjaan agar dia memiliki pengalaman kerja sehingga memiliki nilai jual dari jangka waktu kerjanya. Tahun pertama ini pula sebagian penghasilan ditabung untuk tahun kedua.

Pada tahun kedua, kami fokus pada perumahan. Rumah merupakan kebutuhan primer. Daripada harus menumpang orang tua atau kost seterusnya, lebih baik  memulai mencicil perumahan atau tanah kavling. Adaptasi terhadap pendidikan dan pekerjaan di tahun pertama kami asumsikan sudah baik dan berpola, sehingga pada tahun kedua tabungan kami di tahun pertama bisa digunakan untuk Down Payment perumahan. Katakan saja pada tahun pertama gaji kami digabung Rp 6.000.000,- maka jika masih berdua saja Rp 4.000.000,- dapat disisihkan, yang Rp 2.000.000,- untuk rumah dan Rp 2.000.000,- untuk pendidikan, jadi setahun sudah mengumpulan Rp 24.000.000,- untuk rumah/tanah. Saya rasa dengan dana sebesar itu sudah bisa digunakan untuk DP rumah pinggiran atau pedesaan. Saya sarankan membangun tanah kavling menggunakan kontraktor yang bekerja sama dengan sistem KPR Pembangunan Rumah sehingga lebih hemat dan terkontrol. Memang langkah pertama adalah langkah terberat, tapi itu untuk masa depan kami pula.

Pada tahun ketiga, saya asumsikan sudah lulus. Dana yang kami pakai untuk pendidikan dapat dialokasikan untuk anak. Pada tahun pertama dan kedua sengaja diprogram untuk memiliki anak pada tahun ketiga. Bukan menunda, sebab kami menginginkan anak terlahir setidaknya kami sudah memiliki hunian yang juga bermanfaat untuk anak. Sambil mencicil KPR, kami juga berharap bisa membesarkan titipan Tuhan berupa anak tersebut. Biaya melahirkan kami targetkan menggunakan dana BPJS Kesehatan atau asuransi, sehingga meminimalisir pengeluaran yang sebenarnya bisa ditutupi pihak ketiga. Asumsi kami pada akhir tahun ketiga, rumah sudah siap huni.

Pada tahun keempat, target kami adalah melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Pemerintah menyediakan berbagai beasiswa yang dapat diambil untuk study abroad full course, alangkah menariknya jika bisa berpetualang dengan keluarga ke luar negeri dan sekolah di sana gratis. Bagaimana dengan rumah kami? Tentu saja kami sewakan yang biaya sewanya dapat digunakan untuk menutupi cicilan rumah tersebut, bonus jika bisa membantu perekonomian kami selama di negeri orang. Strata pendidikan yang biasanya disediakan adalah S2, sehingga perkiraan selesai studi adalah 2 tahun. Target negara kami adalah Inggris.

Pada tahun kelima, tahun terakhir rencana jangka pendek kami, tentu saja kami masih di luar negeri. Misi kami adalah berwirausaha. Kami ingin membuka warung Nasi Pecel di Inggris, jika bisa hingga membuka franchise. Sementara cicilan rumah kami tetap berjalan dengan uang hasil persewaan, kami juga bisa mengumpulkan pundi-pundi dana via wirausaha.

Pada intinya, rencana kami ini dimulai dari menuntut ilmu hingga tetap menuntut ilmu. Setidaknya kami ingin menunjukkan bahwa mencari ilmu merupakan ladang amal tersendiri yang tidak mungkin pengorbanannya disia-siakan oleh Tuhan. Kami berharap juga bisa menjadi suri tauladan bagi anak kami nanti khususnya bahwa orang tuanya adalah sosok yang menjunjung tinggi ilmu yang notabene dapat digunakan untuk hidup. Kami berharap rencana strategis 5 tahun kami dapat menginspirasi khalayak sehingga memunculkan semangat berkeluarga berbasis keilmuan.