REALITA DAN EKSISTENSI KAMPUNG KB: ANALISIS PSIKOSOSIAL
Anastasia Septya Titisari1, dr.IGN Made Bayuningrat2, Caecilia Nirlaksita2,
drg.Tri Purnami Dewi2, Luh Kadek Ratih Swandewi1
1Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, 2Fakultas Kedokteran Universitas Warmadewa
Kampung Keluarga Berencana (KB) merupakan sebuah model mini dari implementasi program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) yang melibatkan lintas sektor dalam pelaksanaannya. Kampung KB ini sebenarnya menjadi program unggulan BKKBN untuk mewujudkan Agenda prioritas pembangunan (Nawacita) Pemerintah periode 2015-2019, terutama pada agenda prioritas ke-3 “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan Desa dalam rangka negara kesatuan”, agenda prioritas ke- 5 “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia” serta agenda prioritas ke-8 ”revolusi karakter Bangsa” melalui pembangunan kependudukan dan keluarga berencana.
Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Kampung KB di Provinsi Bali, BKKBN telah melaksanakan sebuah Studi Evaluasi Kampung KBpada bulan September-November 2017. Penelitian tersebut mengambil lokasi di Kabupaten Jembrana (Banjar Puana) dan Kota Denpasar (Dusun Wanasari) untuk menggambarkan daerah pedesaan dan perkotaan. Pemilihan lokasi banjar penelitian juga mempertimbangkan waktu pembentukan. Banjar yang dipilih sebagai lokus yaitu yang waktu pencanangannya sebelum bulan Juni 2016. Studi Evaluasi Kampung KB yang dilaksanakan berkolaborasi dengan Fakultas Kedokteran Universitas Warmadewa tersebut menyatakan bahwa partisipasi dan komitmen pemerintah daerah maupun masyarakat Banjar Puana lebih baik daripada Dusun Wanasari, walaupun belum ditemukan peningkatan yang efektif terhadap capaian program KKBPK di Dusun Wanasari (kota) dan Banjar Puana (desa).
Berdasarkan hasil Studi Evaluasi Kampung KB tersebut dari 51 responden PUS yang diwawancarai di Dusun Wanasari Kota Denpasar, hanya satu orang responden PUS saja yang menyatakan ikut dalam kegiatan yang dilaksanakan pengurus Kampung KB. Sedangkan semua responden PUS di Banjar Puana kabupaten Jembrana, sejumlah 50 responden, menyatakan ikut dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan pengurus Kampung KB, dan sebagian besar responden berpartisi mengikuti semua aspek kegiatan yang dilaksanakan di Kampung KB Banjar Puana tersebut.
Hal ini sejalan dengan Teori Psikologi Sosial yang disampaikan oleh Sosiolog Talcot Parsons (1951), bahwa tipe masyarakat perkotaan cenderung individual. Dari hasil wawancara kualitatif, aparat dusun Wanasari menyatakan bahwa sebagian besar warganya adalah pendatang dan mayoritas mata pencahariannya berdagang, sehingga mereka hanya berfokus untuk mencari nafkah saja. Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa masyarakat wanasari merasa tidak memiliki kepentingan dengan adanya kegiatan kampung KB. Mereka tidak merasa perlu untuk berpartisipasi dalam kegiatan kampung KB.
Sebaliknya terjadi pada masyarakat Banjar Puana yang mewakili masyarakat pedesaan, dimana menurut Talcot Parsons (1951) masyarakat pedesaan memiliki karakteristik “Orientasi Kolektif” sifat ini merupakan konsekuensidari afektifitas yaitu mementingkan kepentingan bersama, tidak suka menonjolkan diri tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, initnya semua harus menunjukkan keseragaman perasaan. Sehingga ketika tokoh masyarakat memiliki kepedulian terhadap program kampung KB, secara tidak langsung mempengaruhi msyarakatnya untuk berperan aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan di Kampung KB.
Sebanyak 34 (66.66%) responden PUS di Banjar Wanasari menyatakan keberadaan Kampung KB bermanfaat. Tetapi hal ini kebalikan dengan alasan yang dikemukakan oleh responden, sebanyak 28 PUS (54.90%) menyatakan bahwa program Kampung KB belum ada manfaat karena program belum berjalan. Masyarakat tidak memberikan alasan yang cukup kuat atas kesetujuan maupun ketidaksetujuan mereka terhadap manfaat kampung KB, bahkan mereka cenderung menghindari atau tidak mau menjawab pertanyaan berikutnya terkait dengan manfaat keberadaaan kampung KB. Pada umumnya masyarakat lebih menyukai kehidupan mereka berjalan seperti biasa.
Masyarakat pada umumnya enggan mengikuti perubahan, terutama perubahan sosial budaya yang melibatkan perubahan kebiasaaan, lembaga sosial, nilai dan kepercayaan. Perubahan sosial bukanlah sebuah proses yang terjadi secara tiba-tiba, terlebih lagi ketika perubahan sosial tersebut melibatkan individu atau kelompok sosial sebagai target perubahan. Munculnya gagasan baru, temuan baru, atau munculnya kebijakan baru, tidak dapat diterima begitu saja oleh individu atau kelompok sosial tertentu (Martono, 2012). Termasuk dengan program kampung KB ini, mereka tidak memiliki alasan khusus untuk jawaban mereka atas manfaat kampung KB. Bahkan mereka cenderung “asal menjawab”, hal ini didukung dengan keengganan mereka untuk ditanyakan lebih jauh mengenai kebermanfaatan kampung KB.
Menurut Soekidjo Notoatmojo (1997) perilaku dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perilaku pasif dan perilaku aktif. Dalam hal ini perilaku masyarakat Wanasari dapat dikatakan memiliki perilaku pasif, dimana perilaku pasif ini adalah respon internal. Terjadi dalam diri manusia yang yidak secara langsung dapat dilihat orang lain (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) artinya seseorang yang memiliki pengetahuan positif tentang pentingnya manfaat kampung KB, namun belum melakukannya secara konkrit, dalam hal ini, tidak mau berpartisipasi di dalamnya.
Dari 50 PUS yang menjadi responden di Banjar Puana Dusun Tegal Badeng Barat ada sebanyak 24 (48%) responden menyatakan Kampung KB sangat bermanfaat, 23 (46%) responden menyatakan bermanfaat, dan sisanya 3 (6%) responden menyatakan tidak bermanfaat. Responden PUS yang menjawab Kampung KB sangat bermanfaat dan bermanfaat, menyebutkan manfaat yang terbanyak adalah untuk meningkatkan ke-peserta-an KB (82,9%) dan bahwa masyarakat menjadi lebih tahu tentang kegiatan Kampung KB (82,9%), sedangkan manfaat lainnya adalah untuk ajang silaturahmi antara masyarakat (48,9%) dan yang paling sedikit dikemukankan adalah dengan adanya Kampung KB menjadi sering dikunjungi pejabat (19%).
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat diantaranya disebabkan oleh keinginan individu maupun kelompok menuju ke arah lebih baik dan adanya penyimpangan yang terjadi baik dilakukan oleh Negara, pemerintah maupun masyarakat. Hal ini mendorong masyarakat sehingga ingin melakukan perubahan ke jenjang lebih baik dan sesuai dengan situasi serta kondisi yang terjadi (Irwan dan Indraddin, 2016). Dalam hal ini masyarakat di Banjar Puana, Dusun Tegal Badeng Barat menginginkan perubahan dalam peningkatan pengetahuan serta kesertaan ber-KB melalui kegiatan kampung KB. Kegiatan Kampung KB dinilai memiliki manfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan kesertaan ber-KB. Sosialisasi yang dilakukan dalam rangka kegiatan kampung KB secara efektif dan efisien meningkatkan pengetahuan dan mempermudah masyarakat dalam memperoleh pengetahuan tentang KB dan Kesehatan Reproduksi.
Ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi keberhasilan program Kampung KB salah satunya yaitu peran serta masyarakat. Tidak dapat dipungkiri jika peran serta ini menjadi unsur penting dalam pelaksanaan program pemerintah. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya perlu persiapan yang matang dan pengenalan kepada masyarakat mengenai program yang akan diberikan. Perlu adanya penjelasan yang menyeluruh kepada masyarakat mengenai manfaat dari program tersebut, sehingga masyarakat merasa dilibatkan dan ikut ambil bagian dalam program tersebut. Program yang bersumber dari masyarakat lebih mudah diterima dan diaplikasikan, daripada yang diturunkan langsung dari atas.
Daftar Pustaka:
Notoatmojo, Soekidjo. (1973). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Parsons,Talcott. (2005). The Social System. England: Taylor & Francis e-Library,
Martono, Nanang. (2012). Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Jakarta: Raja Grafindo Persada .
Irwan dan Indraddin. (2016). Strategi dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Deepublish.